Oleh : Prof.Thamrin Usman (Guru Besar Kimia Agroindustri Untan Pontianak). Tulisan ini menanggapi Ide Besar dari Sekretaris Komisi 1 DPRD Provinsi Kalbar, .Zulfydar Zaidar Mochtar.
Pos Lintas Batas Negara(PLBN) Entikong yang pertama di Indonesia mulai beroperasi pada tanggal 1 Oktober 1989. Hingga saat ini PLBN Entikong hanya difungsikan sebagai pintu lintas manusia.Apakah hal ini dapat menimbulkan berbagai kerugian substantif?.Kerugian baik yang terukur secara finansial (tangible) maupun dampak tidak langsung (intangible).Bagaimana dampaknya sekiranya dapat dioptimalkan fungsi ekonomi dari PLBN ini?.
- Kerugian Tangible (Terukur Finansial)
a. Investasi Infrastruktur yang Tidak Optimal
- Rp1,5 triliun – Total anggaran pembangunan PLBN Entikong tahap pertama (2015-2019)
- Rp440 miliar – Anggaran tahap kedua untuk pengembangan zona pendukung (dry port, pasar modern, dll)
- Biaya operasional tahunan diperkirakan Rp20-30 miliar untuk pemeliharaan fasilitas kelas internasional
Jika hanya untuk lintas manusia, ROI (Return on Investment) akan sangat rendah karena pendapatan dari retribusi dan pajak tidak sebanding dengan biaya pembangunan dan operasional.
b. Potensi Pendapatan yang Hilang
- Perdagangan lintas batas: PLBN Entikong bisa menghasilkan Rp50-100 miliar/tahun dari perdagangan legal jika difungsikan optimal
- Pajak dan bea cukai: Potensi pendapatan negara Rp30-50 miliar/tahun dari ekspor-impor formal
- Sektor jasa (logistik, pariwisata, dll): Kehilangan peluang bisnis senilai Rp100-200 miliar/tahun.
c. Biaya Opportunity Cost
- Kawasan ekonomi terintegrasi seperti di Skouw (Papua) atau Nong Khai (Thailand-Laos) menghasilkan Rp500 miliar–1 triliun/tahun. PLBN Entikong bisa mencapai angka serupa jika dikembangkan sebagai pusat ekonomi, bukan sekadar pos lintas.
- Kerugian Intangible (Tidak Langsung Terukur)
a. Kehilangan Peluang Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
- Pengangguran terselubung: Banyak warga sekitar masih bergantung pada pekerjaan informal, padahal kawasan ekonomi bisa menciptakan 5.000-10.000 lapangan kerja baru.
- Urbanisasi ke Malaysia: Kurangnya lapangan kerja di Entikong membuat banyak warga Kalbar memilih bekerja di Sarawak (Malaysia), yang berarti kehilangan SDM produktif.
b. Ketergantungan Ekonomi pada Pasar Gelap.
- Perdagangan ilegal (penyelundupan BBM, rokok, sembako) diperkirakan mencapai Rp200-300 miliar/tahun karena minimnya regulasi perdagangan formal.
- Kehilangan kedaulatan ekonomi: Jika tidak dikelola dengan baik, Entikong hanya akan menjadi “pintu belakang” dari pada sebagai pusat pertumbuhan.
c. Citra Indonesia di Mata Internasional.
- PLBN megah tapi tidak produktif bisa menimbulkan kesan pemborosan anggaran.
- Malaysia lebih diuntungkan: Tebedu (Malaysia) sudah memiliki kawasan industri dan pasar modern, sementara Entikong hanya jadi “penonton”.
d. Pembangunan Kawasan Perbatasan yang Tidak Merata.
- Ketimpangan ekonomi: Jika Entikong tidak berkembang, ketergantungan pada Jawa-Sumatera semakin tinggi, bertentangan dengan visi “Indonesia Sentris”.
- Potensi konflik sosial: Masyarakat lokal bisa kecewa karena janji pembangunan ekonomi tidak terwujud.
Kesimpulan: Kerugian Jangka Panjang Lebih Besar daripada Biaya Pembangunan.
Jika PLBN Entikong hanya berfungsi sebagai pos lintas manusia, kerugian finansial bisa mencapai Rp1-2 triliun dalam 10 tahun(belum termasuk opportunity cost). Sementara itu, kerugian intangible (kehilangan SDM, ketergantungan ekonomi ilegal, citra buruk) jauh lebih sulit diperbaiki.
Rekomendasi:
- Percepat pengembangan kawasan ekonomi terpadu(dry port, pasar modern, kawasan industri kecil).
- Permudah perizinan perdagangan lintas batas untuk menarik investasi.
3.Tingkatkan kerja sama dengan Malaysia dalam skema ekonomi sub-regional (BIMP-EAGA).
4.Integrasikan dengan program pariwisata perbatasan untuk meningkatkan nilai tambah.
Dengan optimalisasi fungsi ekonomi, PLBN Entikong bisa menjadi mesin pertumbuhan baru bagi Kalimantan Barat, bukan sekadar proyek infrastruktur megah yang tidak produktif.